Senin, 08 Februari 2010

Memandang Dunia dengan Cinta

Meningkatnya jumlah perceraian dan sikap-sikap egois yang merusak relasi dan komunikasi keluarga merupakan fenomena yang memprihatinkan dan membuat keluarga-keluarga, terutama kaum muda masuk ke dalam kegelisahan, kebimbangan dan kegamangan untuk membangun hidup berkeluarga. Selain itu situasi dan kondisi ini mempengaruhi pemahaman dan penghayatan mereka akan makna dan hakekat serta tujuan perkawinan. Fakta tersebut memperlihatkan bahwa di tengah berlangsungnya karya penyelamatan Allah dalam kehidupan manusia, muncul penolakan-penolakan manusia terhadap rencana-Nya itu. Persatuan laki-laki dan perempuan dalam sakramen perkawinan, yang menandakan dan menghadirkan kasih Kristus yang menguduskan dan menyelamatkan Gereja-Nya, justru terkadang menjadi sarana dan wahana yang membuat orang merasa terbebani dan menderita. Singkatnya, pemahaman dan penghayatan sakramentalitas perkawinan semakin lama semakin mengalami pengikisan. Dan pengikisan penghayatan dasariah itu menyebabkan dangkalnya penghayatan atas nilai-nilai kehidupan itu sendiri.

Keprihatinan mendasar inilah yang mendorong Romo BR Agung Prihartana, MSF menulis buku Menjadi Anugerah Bagi Pasangan ini. Buku ini selain bermaksud menegaskan kembali ajaran Gereja bahwa bersatunya laki-laki dan perempuan “menjadi satu daging” bukan hanya didorong atau berawal dari kebutuhan manusiawi belaka; namun persatuan itu adalah rencana dan kehendak Allah sendiri sejak semula untuk mewahyukan diri-Nya sebagai sumber cinta kasih yang menyelamatkan, juga mengajak setiap pribadi suami isteri maupun pasangan muda yang sedang menyiapkan diri untuk masuk dalam ikatan perkawinan katolik untuk menyadari hakikatnya yang paling mendasar sebagai ciptaan Allah, yakni menjadi anugerah bagi pasangan. Para suami isteri diajak untuk melihat kembali misi atau tugas perutusan mereka yang paling fundamental, yakni memberikan (menganugerahkan) diri kepada pasangan sebagaimana Kristus mengasihi Gereja-Nya.

Selain ulasan yang sedikit teologis dan biblis, buku ini dilengkapi dengan kisah-kisah nyata yang sering terjadi dalam kehidupan berumah tangga. Membaca kisah mereka, seakan kita membaca hidup kita sendiri...

“Pastor, apakah artinya perkawinan itu bagi hidup seseorang?” Dalam keheranannya atas pertanyaan itu, pastor balik bertanya kepadanya, “menurut ibu sendiri, apa arti perkawinan bagi kehidupan ibu dan keluarga selama ini?” Mendengar pertanyaan pastor itu, si ibu menghela nafas panjang. Dan setelah agak lama terdiam, ia menjawab, “setelah 35 tahun menikah dan mempunyai tiga anak, saya mengalami bahwa perkawinan adalah sebuah jalan menuju penderitaan dan kesengsaraan! Karena selama itu saya hampir tidak pernah mengalami kegembiraan dan sukacita. Yang ada hanyalah beban....beban.... dan beban! Dan beban itu makin lama makin membuat saya menderita dan sengsara dalam hidup ini. Saat ini saya merasa sangat tertekan dengan perlakuan suami saya. Selama ini kami sering ribut sampai-sampai beberapa kali saya terpaksa pulang ke rumah orangtua saya. Dan setiap kali saya pulang ke rumah orangtua, dia tak pernah menjemput saya kembali, padahal dalam hati saya berharap ia akan menjemput saya sebagai ungkapan cintanya dan bahwa saya berarti baginya. Tetapi nyatanya dia tidak menjemput saya. Itu membuat saya merasa tidak berarti dan bernilai sedikitpun baginya.” (hal. 2-3)

Lama-lama saya tidak bisa menahan kejengkelan saya terhadap suami saya, .......: “tampaknya kamu akan kelihatan lebih cantik kalau pakai warna lipsticknya mama…” Saat itu meledaklah kemarahanku dan kubanting semua peralatan make up yang ada di depanku sambil berteriak pada suamiku: “sana…. kamu kawin saja sama mamamu… biar hatimu puas!” Akhirnya kami tidak jadi pergi ke acara reuni yang sebetulnya sudah lama kami tunggu-tunggu. Saya rasa tuntutan suamiku sudah keterlaluan dan tidak masuk akal lagi. Bagaimana mungkin aku harus menjadi seperti mamanya dalam segala hal? Jangan-jangan itu sebuah penyakit yang dimiliki suamiku??? (hal 11-12)

Sebagai kepala rumah tangga, saya bertanggungjawab atas seluruh hidup keluarga, baik materi, perhatian, dan kehidupan iman. .........., ketika saya sedang stress karena pekerjaan kantor, dan saya ceritakan kepada isteri saya, dia menghibur saya dan juga tidak jarang memberi masukan yang membantu saya untuk mengatasi persoalan saya di kantor. Jadi, kami saling memperhatikan, membantu, dan memberi dukungan. Perhatian satu terhadap yang lain ini membahagiakan kami dan menyelematkan kami dari beban dan persoalan hidup. (hal. 44-45)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar